Inside Destinasi Wisata Kuta Mandalika: tradisi madak dan hari keluarga
Kuta Mandalika sedang menyongsong diri sebagai destinasi wisata bertarap international dengan adanya sirkuit motor GP didalam kawasannya. Kawasan destinasi wisata ini telah menjadi tujuan wisata mancanegara dan domestic termasuk wisatawan lokal. Panorama alam berupa laut dengan bukit-bukit disekelilingnya dan pasir berwarna coklat muda keemasan berbentuk bulir-bulir ibarat merica menjadi magnet tujuan berlibur atau sekedar berkeliling menghilangkan penat dari hiruk pikuk rutinitas kesibukan keseharian kehidupan. Kawasan wisata ini popular juga dengan legenda Putri Mandalika, kisah seorang putri yang tidak mau mengecewakan beberapa pangeran yang tertarik padanya dan memilih untuk menceburkan diri ke laut dan menjelma menjadi “nyale”, sejenis cacing, agar bisa berguna untuk banyak orang. Legenda Putri Mandalika telah menjadi festival tahunan “Bau Nyale”, menangkap nyale yang keluar sekali setahun, berdasarkan penanggalan kalender Sasak. Nyale umumnya keluar dari dalam laut menjelang diri hari, karenanya untuk menunggu waktu keluarnya nyale penduduk dan wisatawan yang datang akan bermalam atau berkumpul di pantai. Untuk meramaikan penantian waktu keluarnya si nyale, dihadirkanlah berbagai pertunjukan baik yang tradisional seperti wayang kulit sasak maupun hiburan modern seperti pentas musik dengan aktris dan penyanyi ternama bertarap nasional.
Selain tradisi bau nyale kawasan Kuta Mandalika juga memiliki tradisi madak. Tak sengaja saat berkunjung ke Kuta Mandalika tanggal 24 September 2021 yang lalu saya menemukan pemandangan yang berbeda. Disepanjang pantai berjejer ratusan tenda-tenda yang terbuat dari terpal dan jumlah orang yang mandi di pantai sangat banyak. Saya pun mendekati lokasi tenda, berkeliling melihat apa yang sedang terjadi dan menemukan berbagai aktififtas yang dilakukan disekitar tenda mereka masing-masing: membersihkan ikan, membakar ikan, sedang makan siang bersama, sedang ngobrol-ngobrol sesamanya, sedang tidur-tiduran didalam tenda. Usia mereka ada yang nenek-nenek, kakek-kakek, anak-anak, dan remaja. Sayapun ahirnya ngobrol-ngobrol untuk ingin tahu apa yang sedang mereka lakukan dan jawabannya mereka sedang “Madak”.
Madak pada umumnya dikenal sebagai turun ke laut untuk mengambil ikan, kerang dan lamun pada saat air laut surut setiap bulan. Karena mudahnya mengambil ikan, kerang dan rumput laut maka jumlah warga yang melakukan madak pun semakin banyak dan cara-cara yang tak menjaga kelestraian alam lautpun dilakukan. Misalnya menjelang terjadinya air surut, dibuanglah “tuba” atau racun agar ikan-ikan pingsan sehingga mudah di ambil dengan tangan. Penggunaan tuba ini tentu saja tidak membuat ikan yang pingsan namun biota laut lainnya.
Nah tradisi madak yang dilakukan di kawasan Kuta Mandalika tersebut tidak hanya saat menjelang air laut surut namun mereka Madak dengan berkemah. Mereka yang madak di Kuta Mandalika tersebut sebagian besar berasal dari Desa Rembitan khususnya Dusun Sade yang terletak sekitar 8 kilometer, berada dalam kecamatan yang sama dengan desa Kuta dimana kawasan pantai Mandalika berada. Kegiatan Madak dilakukan sekali setahun berpatokan pada penanggalan kalender Sasak. Jika dirunut maka penanggalan yang dimaksud bertepatan dengan bulan Safar pada penanggalan tahun hijriah. Dengan tibanya tanggal 15 bulan Safar, warga Desa Rembitan berbondong-bondong menuju kawasan pantai Kuta mendirikan tenda-tenda terpal disepanjang pantai, berkemah selama 4–5 malam, tanggal 15–20 penanggalan bulan atas istilah mereka. Setiap tenda dihuni oleh sekeluarga besar yang terdiri dari kakek-nenek, anak mantu, anak kecil dan cucu-cucu. Tenda didirikan berdekatan dengan kekerabatan atau tetangga di kampung. Karena akan bermalam selama 4 -5 hari maka semua peralatan dapur untuk memasak pun dibawa, kompor, panci, penggorengan, bahan makanan yang akan dimasak, beras, air dan perlengkapan tidur seperti tikar, bantal sarung. Acaranya adalah menangkap ikan dan berkemah di pinggir pantai, mandi dipantai, duduk-duduk menikmati pantai, matahari terbit hingga terbenam dan malam dengan sinar rembulan. Menjelang air surut, tuba di lepas dan saat air surut semua warga, nenek-nenek, kakek-kakek, remaja, anak-anak turun mengambil ikan dengan tangan, jaring atau menombaknya. Ikan yang diperoleh lalau dibersihkan dipinggir laut atau pantai, kemudian ada yang dibakar, digoreng atau direbus lalu disantap bersama-sama sekeluarga dengan nasi. Jika kegiatan ambil ikan sudah selesai mereka duduk-duduk berbincang-bincang, mandi di laut sepuasnya. Untungnya kawasan Pantai Mandalika saat ini dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan toilet yang bagus sehingga sebagian peserta madak tidak melakukan buang air besar sembarangan. Bayangkan jika tidak ada fasilitas tersebut maka akan mengotori kawasan pantai karena jumlah yang madak ratusan orang.
Jika saya perhatikan jenis ikan yang diperoleh sebagian besar ikan-ikan kecil yang tidak seberapa jumlahnya. Namun dibalik kegiatan turun kelaut mengambil ikan, yang nampak adalah momen “gathering” keluarga dan libur bersama. Berkumpul dan berlibur bersama sekeluarga dan dilakukan beramai-ramai oleh warga sedesa merupakan tradisi yang sangat menakjubkan. Momen yang sangat luar biasa dalam sebuah kehidupan. Ramai-ramai berkemah, menikmati sinar rembulan, mandi dipantai, ramai-ramai mengambil ikan dan membakar ikan, bersendau gurau dan ngobrol-ngobrol, merupakan hari keluarga yang luar biasa. Madak yang dilakukan oleh warga Desa Rembitan tersebut sejatinya adalah hari keluarga, bukan hari keluarga seperti yang diperingati dengan upacara mendengarkan pidato para petinggi negeri ini. Bisakah kita menciptakan “ruang madak” untuk semua warga seperti warga Desa Rembitan? It could be such wonderful life for everyone.